Senin, 02 November 2009

ANTO JADUL DAN DUNIA FOTOGRAFI





Sabtu 31 Oktober 2009, sekitar pukul 12 siang. Sebuah pesan singkat terkirim ke ponsel penulis. Dari Mas Anto. Isinya mengabarkan bahwa beliau tengah dalam transit di Makassar dalam perjalanan pulang menuju Jakarta. Beberapa jam kemudian penulis mencoba mengirim pesan kembali kepada Mas Anto, sekedar untuk menanyakan apakah beliau sudah sampai di Jakarta. Dan ternyata Mas Anto malah langsung menghubungi penulis kembali.
“Selamat sore, Mbak…”
“Selamat sore juga Mas Anto…Bagaimana kabarnya sekarang, Mas…?”
“Alhamdulillah baik-baik saja, Mbak…”
“Waduh Mas…udah agak lama nih nggak bisa cerita-cerita lagi ya…,”
“Iya, Mbak, maklum sinyal di sana memang begitu. Namanya juga daerah terpencil…Oh ya, Mbak, saya nanti hari Sabtu mau ada pemotretan istimewa, lho..”
“Istimewa yang bagaimana Mas maksudnya..?”
“Istimewa banget…karena selain anak-anak dan istri saya akan berkunjung ke Jakarta, juga karena para fotografer yang akan memotret saya adalah para maestro di bidang fotografi infrared, alias pemotretan infrared. Mereka juga adalah orang-orang yang telah berjasa dalam membantu biaya pengobatan istri saya, yaitu pak Dibyo Gahari dan Yudhistira… Istri saya senang sekali nanti bisa kembali bertemu dengan orang-orang seperti mereka, selain itu saya juga mau mengajak anak saya yang bungsu, Anan, buat naik ‘undak-undakan sing mlaku dewek…’hehehe…”


Photographer: Erwin Rizaldi

“Wah…apa tuh artinya Mas..?”
“Eskalator di mall, Mbak. Maklum, Kebumen kan kota kecil, enggak ada mall di sana…ya jadi sekaligus buat refreshing keluarga, lah..hehehe…”
“Oh..begitu ya Mas…seru juga ya namanya kumpul bareng keluarga…eh, ya, apa Mas punya oleh-oleh cerita lagi nih..?”
“Hmmm…untuk kali ini saya mau cerita tentang awal mula saya jadi model klasik saja, bagaimana, Mbak..?”
“Ya enggak apa-apa, Mas…kan Mas yang punya cerita kan…hehehe..”




“Okelah…begini awal mula ceritanya saya bisa nyemplung ke dunia model yang tidak saya perkirakan sebelumnya… Waktu itu saya di Jakarta walaupun hanya berprofesi sebagai tukang parkir, tetapi saya ini juga ikut Perkumpulan Sepeda Onthel yang rata-rata anggota lainnya dari yach…Mbak tau sendiri,lah…para hobiis kelas atas begitu. Jauh, lah, bila dibandingkan dengan saya. Tapi biar begitu saya sih pede aja lagi…yang penting kan saya ikut klub itu niatnya ya menyalurkan hobi sama silaturahmi antar pecinta onthel aja. Club Onthel ini mengadakan kumpul bareng tiap seminggu sekali di Bunderan HI, dan setiap kali kumpul ya masing-masing tentulah sebagai komunitas jadul, kami ini mengenakan kostum jadul juga. Tapi ya,…saya kok melihat mereka (anggota yang lain) itu kok ndak kreatip amat sih kalau pake kostum. Ya paling-paling cuma pakai blangkon, batik, trus lurik (kain batik panjang untuk bawahan pria), selop,…gitu-gitu aja terus. Enggak ada variasi pokoknya…
Naah, disitulah ide kreatif saya muncul. Saya pikir, masak sih enggak ada model kostum lain yang mewakili jaman dulu selain yang itu-itu aja..??? Muncullah ide di kepala saya buat bikin kostum ala jaman Belanda, yang saya rancang sendiri. Sepulang dari kumpul bareng, saya pulang ke gubug saya, terus saya cari celana panjang putih di loakan, saya potong sampai selutut lebih sedikit, saya jahit sendiri, terus baju atasannya saya cari dari koleksi pribadi Mbah saya di kampung yang udah agak lama ndak dipakai, saya bawa baju Mbah saya itu dari kampung, saya tambahin kacamata minus berbingkai bulat dari loakan juga, sama topi Meneer yang saya beli dari teman anggota klub onthel, pakai kaus kaki tinggi sama sepatu putih. Dan enggak lupa kamera jadul koleksi kesayangan yang wajib saya tenteng sebagai aksesori tambahan. Pas minggu depannya kumpul lagi, orang-orang (anggota klub yang lain) pada ngenyĆ©k (mengejek) saya, yah…pokoknya menertawakan, lah. Tapi saya sih cuek aja, yang penting berani tampil beda dong…hehehe…kayak TvOne gitu lho…!

Photografer: Bambang Susanto

Hingga suatu ketika, begitu saya habis pulang dari kumpulan itu seorang diri naik onthel, saya dicegat dua orang yang baru turun dari busway…yang satu laki-laki, dan satu lagi perempuan. Mereka memperkenalkan diri sebagai Alfred Pasifico Ginting (mantan editor Playboy Indonesia, kini editor Koran Jakarta) dan mbak Fitra Agnes Christiani (ketika itu mahasiswi ITB). Kedua orang ini kemudian mampir ke gubuk saya, dan di situ saya memperlihatkan koleksi barang-barang antik yang saya miliki. Mereka kemudian memotret koleksi saham-saham saya ,dan saya pun memberi mereka kenang-kenangan berupa beberapa lembar saham kuno era Bung Karno. Di akhir kunjungan itu mereka menyampaikan keinginannya untuk memotret saya di Taman Fatahillah saat itu juga, dan saya pun ke sana bertiga.
Setelah pemotretan selesai, foto saya yang dijepret oleh mbak Fitra itu kemudian di-upload mas Alfred ke situs www.fotografer.net, mendapat banyak apresiasi dari anggota komunitas situs tersebut, dan foto tersebut juga dipamerkan di kampusnya dalam sebuah lomba foto. Tidak disangka-sangka foto tersebut memenangkan lomba dan kemudian dipamerkan di Plaza Indonesia…
Tetapi pada saat foto tersebut dipamerkan saya tidak dapat menyaksikannya karena di waktu yang sama para anggota komunitas fotografer.net datang khusus dalam satu rombongan bus untuk mengajak saya pemotretan di Candi Borobudur dan Yogya Istri saya sampai senang sekali kedatangan tamu segitu banyaknya, orang-orang dari Jakarta, orang-orang gedean semua, kok mau mampir ke rumah saya yang kecil, jelek…maklum namanya cuma rumah tukang parkir…

Photographer: Yudhistira Bali

Foto tersebut kemudian dipamerkan di Jepang untuk lelang foto amal bagi korban gempa Yogya. Tak disangka-sangka, foto tersebut laku dalam nominal yang cukup fantastis untuk disumbangkan… Begitu istri saya mendengar kabar tersebut, ia langsung menangis terharu, sambil terisak-isak ia mengatakan betapa bahagianya ia ketika saya yang hanya tukang parkir, berwajah pas-pasan, keadaan kami yang serba kekurangan-bahkan anak saya pun pernah hanya menyantap menu nasi dengan kecap untuk mengganjal perut karena penghasilan saya sebagai tukang parkir lebih banyak dihabiskan untuk pengobatan istriku dengan penyakit kankernya-ketika itu, tetapi justru di tengah kekurangan itulah malah saya bisa membantu orang lain yang sedang tertimpa bencana… Sungguh kebahagiaan bagi saya sekeluarga dengan keadaan kami yang seperti itu, saya bisa menjadi berkah bagi orang lain…
Dari situlah saya mulai menapaki karir sebagai model klasik alias jadul, karena profesi ini tidaklah sama seperti model lainnya. Saya ini menjadi model bukan karena tampang dan fisik, mbak,… Tampang saya pas-pasan, boro-boro ganteng, lha wong tukang parkir… Ehm, sebetulnya saya sih ngerasa ganteng, kok, tapi sayang cuma istri saya doang yang tau…hehehe… Saya menjadi model klasik terutama karena konsep yang saya tawarkan pada fotografer yang pengen motret saya. Saya tentunya enggak bisa sembarangan ketika menawarkan konsep tersebut pada mereka pas pemotretan, maklum , kan, mereka itu rata-rata hobiis fotografi kelas atas semua yang pengetahuannya tentang dunia kayak gini (fotografi) tentulah udah, yah…jangan ditanya lagi pokoknya. Jadi setiap kali mau pemotretan saya dengan sopan minta izin pada mereka tentang konsep-konsep saya…eh, malah mereka welcome banget sampai sekarang…


Dari situlah juga saya mulai berkenalan dengan para fotografer dan belajar banyak tentang ilmu fotografi kepada mereka. Jadi saya sebetulnya enggak cuma jadi model aja lho, tapi saya juga udah punya gallery koleksi pribadi yang bisa dilihat di www.jakartaphotoclub.com sama yang saya titipin sama Mbak di sini… Kalau teman-teman yang lain pakai kamera digitasl berharga puluhan sampai ratusan juta, buat orang jadul kayak saya yang enggak ngerti teknologi dan berkantong pas-pasan sich…pakai kamera pocket film dari loakan aja, hehehe…itu pun bisa jadi foto berkualitas tinggi asal kita cermat membidik momen yang pas…Jadi buat saya, keterbatasan bukanlah suatu penghalang, kok , malah dengan keterbatasan itu jadi memacu saya buat kreatif seperti ketika saya bikin kostum sendiri di klub onthel, eh…justru dari situlah, alhamdulillah, saya bisa berkah bagi keluarga dan orang lain…” ujarnya menutup cerita sambil menghela napas dan mengucapkan salam…